Pelaku Industri: CfDS UGM Jangan Jadi Alat Kepentingan Asing


Data Center

Para pelaku industri nasional mengkritisi hasil kajian Center for Digital Society (CfDS) yang merupakan lembaga riset dibawah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Hasil riset berjudul Transformasi Digital Indonesia di Era Komputasi Awan: Rekomendasi Aturan Klasikasi Data Sektoral dalam Menyongsong Revisi PP 82/2012 yang telah dibagikan dalam bentuk buku dalam acara Seminar Diseminasi Hasil Riset Klasifikasi Data di Era Komputasi Awan, di The Sultan Hotel Jakarta, pada Selasa 19 Februari 2019. Acara tersebut merupakan kolaborasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dengan CfDS UGM. 

Dari press release yang diterima redaksi, para pelaku industri meragukan obyektifitas hasil riset tersebut, karena adanya potensi konflik kepentingan. Dr. Dedy Permadi yang menjabat sebagai Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Kebijakan Digital, juga merupakan Managing Director CfDS dan editor tunggal dari hasil riset tersebut. 

Isi dari hasil riset CfDS tersebut juga dinilai mengabaikan berbagai hal mendasar dan penting dari sisi ekonomi nasional, keamanan dan kedaulatan negara, dan terkesan menjadi kajian pembenaran bagi rencana kebijakan yang akan diambil dengan menihilkan peran pelaku industri layanan komputasi awan, dan industri data center di Indonesia. CfDS dinilai hanya memahami bahwa layanan komputasi awan adalah layanan komputasi awan global yang berada di luar Indonesia, dan terkesan ikut turut mendorong revisi PP 82/2012 hanya untuk bisa menggunakan layanan komputasi awan global tersebut.

Para pelaku industri nasional juga mengkritisi data yang dijadikan acuan dalam kajian tersebut, karena ternyata sebagian besar datanya adalah data dari pihak asing yang disinyalir memiliki kepentingan bisnis untuk memperbesar pasar bagi para pelaku industri layanan komputasi awan global di Indonesia. Bahkan ada beberapa data yang digunakan juga merupakan data lama (data 12 tahun yang lalu), yang sangat mungkin sudah tidak relevan dan perlu diuji lagi validitasnya.

Mereka memberikan contoh, dalam hasil riset tersebut CfDS menyampaikan bahwa aturan data localization akan mengurangi PDB Indonesia 0.5% dan juga akan mengurangi investasi di Indonesia sebesar 2.3%, dimana ternyata kalimat ini hanya mengambil dari hasil riset yang dilakukan oleh ICIPE, dimana riset ICEPE sendiri menggunakan data tahun 2004 – 2007 serta hanya berdasarkan aliran perdagangan barang tanpa memperhitungkan aspek lainnya.

Para pelaku industri juga menyayangkan keterlibatan CfDS dalam kegiatan sosialisasi mengenai rencana revisi PP 82/2012, baik itu yang bekerjasama dengan Kemkominfo, akademisi ataupun pihak yang membawa kepentingan pelaku asing lainnya, disaat draft revisi PP 82/2012 tersebut belum disahkan oleh Presiden. Sampai saat ini, isi revisi yang disosialisasikan oleh CfDS masih dalam perdebatan dan terjadi ketidaksetujuan dari para pelaku industri nasional dan juga Kemenko Polhukam.

Heru Sutadi selaku Executive Director, Indonesia ICT Institute berharap Akademisi dalam mengeluarkan hasil riset harus obyektif dan mengedepankan kepentingan nasional, “Kami menghimbau akademisi dalam mengeluarkan hasil riset haruslah obyektif dengan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan serta dengan menggunakan metodologi yang benar, jangan membuat hasil riset berdasarkan pesanan, apalagi pesanan bagi kepentingan asing, ini bahaya sekali”, ujarnya.

Irwin Day selaku Sekjen FTII menyampaikan keprihatinannya terhadap hasil kajian tersebut. “Kajian akademis harusnya memberikan pandangan yang jernih dan tidak berpihak terhadap sebuah persoalan terlepas siapapun sponsornya. Jika yang dikaji adalah industri data center dan cloud computing maka sebaiknya yang menjadi sumber kajian adalah para pelaku industri tersebut di dalam negeri. Jika sumbernya hanya merujuk satu arah maka keabsahan kajian tersebut perlu dipertanyakan. Apalagi kajian tersebut menjadi dasar sebuah kebijakan nasional yang berpengaruh besar pada kepentingan nasional.”, tegasnya.

Alex Budiyanto selaku Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) menyampaikan harapannya agar para akademisi tidak menjadi alat bagi kepentingan asing, “Jelas bahwa kepentingan asing itu adalah untuk membuka akses seluas-luasnya bagi produk atau layanannya di Indonesia dengan biaya seminimal mungkin, apabila data dan proses bisa dilakukan di luar Indonesia, ini adalah akses pasar yang sangat luas bagi mereka untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di Indonesia, tanpa perlu mereka berinvestasi ataupun berkontribusi buat ekonomi Indonesia, ini harus dipahami oleh para akademisi supaya tidak menjadi alat bagi tujuan mereka”, tegasnya.

Direktur Eksekutif MASTEL, Arki Rifazka, menyampaikan "MASTEL mengajak CfDS untuk melakukan kajian bersama yang lebih menyeluruh melihat kepentingan nasional Indonesia menyongsong era industri 4.0. Masih amat banyak aspek strategis yang belum dibahas di dalam kajian CfDS yang bersama Kemkominfo sehingga MASTEL menilai white paper itu belum layak digunakan sebagai rekomendasi revisi PP 82 yang sangat strategis bagi NKRI", tutupnya. 


Bagikan artikel ini