Sikap MUI Hadapi Revolusi Industri 4.0


Ilustrasi Industri 4.0

Ilustrasi Industri 4.0

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan perayaan milad atau ulang tahun yang ke 45 pada Jumat malam (7/8/2020). Dalam acara tersebut, dihadiri oleh Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin yang merupakan ketua non-aktif MUI. Selain itu, terdapat Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi dan wakilnya Zainut Tauhid Sa'adi yang ikut merayakan milad MUI.

Dengan adanya acara tersebut, Wapres Ma'ruf Amin mengungkapkan rasa syukur karena MUI masih tetap kompak hingga saat ini. Tidak seperti organisasi lain, dimana terdapat konflik internal yang dialami. Sehingga ia berharap agar MUI bisa terus konsisten dalam menjalankan visinya. Dalah hal itu diantaranya yaitu dengan mengeluarkan fatwa-fatwa yang dapat memperbaiki umat. Ia pun bersyukur hingga saat ini, MUI masih dipercaya umat. Dengan begitu, ia mengharapkan jajaran di MUI agar dapat terus mempertahankan kondisi tersebut.

Sementara itu, Wamenag Zainut Tauhid Sa'adi yang juga merupakan Wakil Ketua Umum MUI mengungkapkan bahwa tantangan yang akan diterima MUI untuk ke depannya tidaklah mudah. "Kini kita hidup di era revolusi industri 4.0 dan era disrupsi," ujar Zainut. Dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang saat ini semakin maju dan dinamis yang dapat merubah rupa kehidupan secara radikal.

Zainut mengatakan bahwa untuk saat ini informasi bisa dengan cepat didapatkan melalui dunia maya. Hal tersebut dapat membuat manusia yang berinteraksi melalui media sosial selalu mengandalkan aspek yang sifatnya emosional sehingga terjadi adanya fenomena post truth. Post truth itu sendiri yaitu ketika situasi objektif kurang pengaruhnya dibandingkan hal-hal yang dapat mempengaruhi emosi dan kepercayaan sendiri dalam membentuk opini publik.

Post truth ini yang menyuburkan hoax dan maraknya konten kebencian, termasuk kebencian atas nama agama,” ujarnya.

Apalagi untuk saat ini masyarakat kita cenderung lebih menyukai judul berita atau informasi yang sifatnya provokatif atau adu domba, dan adanya rasa malas untuk melakukan verifikasi atau mencari kebenarannya.

Di skala global, umat telah dihadapi dengan adanya isu-isu terkait dengan perang dagang, dan menguatnya populisme atau identitas kelompok, salah satunya identitas keagamaan. Adanya penguatan identitas kelompok bukan hanya ada di kalangan islam, tetapi terdapat juga di kalangan agama lainnya di dunia.

Dengan adanya penguatan identitas dapat berpotensi menjadi eksklusivisme. Yang jika hal tersebut dibiarkan, dengan tanpa adanya penanganan yang tepat dan tercampurnya bersama ideologi kebencian, maka hal tersebut akan menghasilkan penghalalan tindakan kekerasaan atas nama agama. Oleh karena itu hoax dan kebencian inilah yang mampu menimbulkan adanya konflik horizontal internal umat beragama ataupun antarumat beragama lainnya.

Zainut pun mengungkapkan MUI perlu bersyukur karena sudah mengetahui fenomena ini, dan Komisi Fatma pun telah membuat Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalu Media Sosial. Pimpinan dari MUI juga berperan penting dalam memberikan contoh yang baik dalam melakukan fatwa tersebut. Di bagian yang lain Zainut ingin mengajak agar dapat mengamalkan nilai-nilai Islam waasathiyah. Menurut Zainut, islam wasathiyah perlu dilakukan, dipelihara dan dikembangkan, karena dapat menjadi pilihan yang terbaik dalam menjawab tantangan zaman baik di skala lokal, nasional ataupun global. Islam wasathiyah juga akan mengafirmasi sikap dan praktik keagamaan yang telah memiliki komitmen kebangsaan, penghormatan terhadap kearifan lokal dan toleran serta mengutamakan praktik beragama tanpa adanya kekerasan.

"Dan saya meyakini, mempraktikkan Islam wasathiyah dapat mendukung kehidupan beragama yang sehat, harmonis dan rukun, sebagai modal sosial yang dibutuhkan dalam proses pembangunan bangsa," jelasnya.

Tag Terkait
Berita

Bagikan artikel ini