Wamenkumham : AI Sulit Dikategorikan sebagai Subjek Hukum


Artificial Intelligence New

Artificial Intelligence

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan bahwa sulit untuk memasukkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) ke dalam kategori subjek hukum. Hal ini dikarenakan subjek hukum yang selama ini dikenal oleh masyarakat adalah perseorangan dan badan hukum.

“AI tidak bisa dipersonifikasikan sebagai manusia yang punya kecakapan hukum, manusia yang punya kewenangan, dan manusia yang mengemban hak dan kewajiban,” tutur Edward dalam webinar bertajuk ‘Kecerdasan Artifisial dan Tantangannya terhadap Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia’, Kamis (14/10/2021).

Edward menjelaskan bahwa subjek hukum, baik orang perseorangan maupun badan hukum dapat memberikan pertanggungjawaban, memiliki kewenangan, serta memiliki status yang diberikan oleh hukum.

Maka menurut Edward, hal ini berbeda dengan AI ketika dibicarakan sebagai subjek hukum. Masyarakat perlu melakukan penelitian lebih mendalam mengenai AI untuk masuk ke dalam kategori subjek hukum.

“Karena kita tahu persis bahwa ketika orang yang merupakan subjek hukum diminta pertanggungjawaban hukum, maka dia memiliki hak dan kewajiban, kata Edward.

Pernyataan tersebut merupakan tanggapan Edward terhadap AI sebagai subjek hukum dalam Undang-Undang Hak Cipta. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) sendiri mengatakan bahwa perkembangan IT yang pesat kemudian menuntut pihak berwenang untuk dapat mendefinisikan kembali ruang lingkup perlindungan hak cipta dan hak terkait.

Selain itu, diperlukan pula evaluasi kembali terhadap pembatasan dan pengecualian hak cipta. Menurut Edward, beberapa negara di Eropa telah memberikan hak cipta bagi orang yang memungkinkan untuk mengoperasikan AI. Kebijakan tersebut menurutnya kemudian merupakan pendekatan paling masuk akal serta paling efisien.

Maka dari itu, Edward kembali menekankan bahwa sebetulnya AI tidak diletakkan sebagai subjek hukum. Hal ini karena apa yang dihasilkan oleh AI adalah masukan dari programmer yang merancangnya, dan programmer tersebut adalah manusia dan bukan benda mati.

“Jadi, sulit untuk memasukkan AI sebagai subjek hukum,” tegas Edward.


Bagikan artikel ini