Teknologi IoT Menjadi Salah Satu Pendukung dalam Menegakkan Hukum


IOT

Ilustrasi IOT

Hakim Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo mengatakan, Society 5.0 berfokus ke pembangunan masyarakat dengan nilai lebih ke sisi humanis dan kesejahteraan. Suhartoyo menekankan, semua dapat didukung kehadiran Internet of Things (IoT).

Paradigma ini dikembangkan untuk menjawab tingginya kesenjangan sosial dan ekonomi, menipisnya sumber daya alam, terorisme, kehidupan pandemi dengan ketidakpastian. Lalu, sampai kompleksitas ke hampir seluruh tingkat kehidupan. 

"Kerja sama yang baik dari beragam pemangku kepentingan, pembuat kebijakan dan teknologi digitalisasi diperlukan untuk mewujudkan Society 5.0," kata Suhartoyo dalam seminar yang digelar FKPH Universitas Islam Indonesia (UII), Rabu (3/11).

Ia menuturkan, nilai-nilai baru yang terdapat dalam society 5.0 seperti analisis kecerdasan buatan, big data, mencakup ribuan informasi dan diri manusia. Turut mengubah aspek-aspek seperti kesehatan, ekonomi sampai penegakan hukum.

Sejatinya, penegakan hukum itu berpusat kepada manusia. Perbedaannya, pada era Society 5.0 terdapat dukungan IoT dalam proses pengakkan hukum. Ia berpendapat, penegakan hukum akan lebih berorientasi kepada human centric. 

Tujuannya, memberi kehormatan yang tinggi ke hukum yang hidup di masyarakat dan tidak semata ke norma perundang-undangan semata. Selaras tiga subsistem wajib Lawrence Friedman yaitu legal substance, legal structure dan legal culture.

"Society 5.0 melihat penggunaan hukum berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan, independensi, imparsialitas, kebebasan lembaga penegak hukum memutus perkara, profesionalisme penegakan hukum, dan melibatkan partisipasi publik," ujar Suhartoyo.

Dosen FH UII, Ari Wibowo menyampaikan, Society 5.0 menempatkan manusia sebagai pusat aktivitas seimbangkan keuntungan ekonomi dan solusi masyarakat. Dicapai lewat penggunaan integrasi tinggi, baik cyberspace dan physical space.

Perkembangan teknologi akan menjadi solusi untuk memecahkan masalah-masalah yang ada di masyarakat. Ke depan, penggunaan internet semakin masif karena segala yang biasanya dilakukan manusia nanti akan dilakukan sistem.

"Sistem lebih pandai karena manusia punya keterbatasan memori, sementara sistem bisa menampung banyak sekali data, dan dengan data itulah nanti akan melakukan aktivitas, yang mana aktivitas itu dulunya dilakukan oleh manusia," kata Ari.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi turut memudarkan batas-batas yang selama ini ada antar negara. Dampaknya ada yang positif seperti menghemat tenaga manusia dan akses ke ilmu pengetahuan tidak terbatas. 

Dampak negatif memicu perkembangan cybercrime memakai alat baru seperti penyebaran virus, cracking, akses ilegal dan kejahatan tradisional. Beberapa karakteristik seperti borderlines, accessibility, anonymity, interactivity dan rapidity.

Ia menambahkan, kejahatan cybercrime akan terkait kejahatan transnasional. Yang mana, di Indonesia sendiri telah diatur tidak hanya dalam KUHP, tapi juga UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Perlu dilakukan peningkatan keahlian bagi penegak hukum dalam kejahatan cybercrime, diatur sanksi yang lebih bervariasi lagi mengatasi kejahatan cybercrime ini," ujar Ari. 


Bagikan artikel ini