Terobosan 60 Tahun: AI Temukan Formula Antibiotik Baru


Ilustrasi Industri Farmasi

Ilustrasi Industri Farmasi

Sebuah terobosan besar dalam dunia kesehatan muncul setelah lebih dari 60 tahun, dengan kecerdasan buatan (AI) berhasil menemukan kelas antibiotik baru yang efektif melawan infeksi Staphylococcus aureus (MRSA) yang resisten terhadap obat. Penelitian yang dipimpin oleh para peneliti dari MIT, Harvard University, dan Broad Institute of MIT and Harvard, di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, menggunakan platform AI yang disebut Chemprop.

Dilansir dari laman resmi MIT, penemuan penting untuk meningkatkan perawatan kesehatan global ini dilakukan oleh para peneliti yang terafiliasi dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT), Harvard University, dan Broad Institute of MIT and Harvard di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat.

Pada tingkat global, lebih dari 4,95 juta kematian terkait dengan resistensi antimikroba bakteri, dan 1,27 juta meninggal langsung karena resistensi antimikroba. Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 2,8 juta infeksi yang resisten terhadap antimikroba dan 35.000 kematian setiap tahunnya menurut laporan Antibiotic Resistance Threats in the United States, 2019 oleh U.S. Centers for Disease Control (CDC).

Menurut laporan The Review on Antimicrobial Resistance yang ditugaskan oleh Pemerintah Inggris, angka kematian yang diproyeksikan pada tahun 2050 akibat antimikroba resistance (AMR) mencapai 10 juta orang setiap tahunnya. Oleh karena itu, penemuan antibiotik baru menjadi langkah signifikan dalam meningkatkan perawatan kesehatan global.

Staphylococcus aureus (S. aureus), juga dikenal sebagai staph merupakan bakteri Gram-positif yang menyebabkan berbagai infeksi pada manusia seperti infeksi kulit, sepsis, dan pneumonia mematikan. Methicillin-resistant S. aureus (MRSA) sendiri menyebabkan lebih dari 120.000 kematian di seluruh dunia pada 2019 menurut laporan Institute for Health Metrics and Evaluation.

Penelitian yang dipimpin oleh Profesor MIT James Collins dan rekan-rekannya, para peneliti menggunakan kecerdasan buatan untuk merancang formula antibiotik baru dengan fokus pada bakteri MRSA yang menjadi penyebab berbagai infeksi fatal. Metode ini melibatkan penggunaan platform kecerdasan buatan, khususnya graph neural networks (GNN) yang disebut Chemprop.

"Studi kami menunjukkan bahwa jaringan saraf tiruan dapat dipahami dan dijelaskan dengan lebih baik menggunakan pencarian berbasis grafik untuk alasan substruktur kimia yang merekapitulasi prediksi model," tulis James Collins dan rekan penulis studi tersebut.

GNN memproses struktur data grafik untuk melakukan prediksi dan analisis, membantu dalam penyaringan lebih dari 39.300 senyawa untuk aktivitas penghambatan pertumbuhan dari strain methicillin-susceptible, S. aureus RN4220, yang menghasilkan 512 senyawa kandidat aktif.

Dilansir dari PsychologyToday, dari 512 senyawa antibakteri aktif, 40% di antaranya diketahui bersifat sitotoksik. Namun, setelah proses penyaringan lebih lanjut, 306 senyawa terpilih tanpa adanya sitotoksisitas terhadap tiga jenis sel manusia yang digunakan untuk penyaringan.

Setelah proses penyaringan yang cermat, 283 senyawa terpilih diuji secara eksperimental melawan MRSA di laboratorium, menghasilkan dua senyawa antibiotik kandidat yang sukses diuji pada tikus. Hasil ini menandai langkah maju dalam penanganan bakteri resisten obat yang menjadi ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat global.

Profesor Collins menyatakan, "Pendekatan kami mengungkapkan beberapa senyawa dengan aktivitas antibiotik terhadap S. aureus. Dari jumlah tersebut, kami menemukan bahwa satu kelas struktural menunjukkan selektivitas yang tinggi, mengatasi resistensi, memiliki sifat toksikologi dan kimiawi yang baik, dan efektif dalam pengobatan topikal dan sistemik MRSA pada model infeksi tikus."

Langkah-langkah selanjutnya akan melibatkan uji klinis lebih lanjut, namun penemuan ini memberikan landasan yang kuat untuk pengembangan antibiotik baru yang dapat mengatasi tantangan besar dalam pengobatan infeksi bakteri resisten obat. Keberhasilan ini menunjukkan potensi besar kecerdasan buatan dalam memecahkan masalah kompleks dalam bidang kesehatan.


Bagikan artikel ini