AI vs Seni: Pandangan Alex Budiyanto soal Etika dan Inovasi


Ilustrasi Robot 3

Ilustrasi Artificial Intelligence

Perkembangan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) telah menjadi topik hangat dalam berbagai diskusi teknologi modern. Kehadirannya yang semakin nyata dan menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia menimbulkan perdebatan sengit, termasuk dalam ranah seni. Dikutip dari sebuah wawancara eksklusif bersama KapanLagi, Alex Budiyanto Founder dari Indonesia Artificial Intelligence Hub (AIHub.id) dan Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia membagikan pemikirannya mengenai masa depan AI, tantangan etis yang dihadapi, serta bagaimana AI bisa menjadi alat yang memperkaya kemampuan generasi muda.

 

AI dari Laboratorium ke Kehidupan Sehari-hari

Menurut Alex, perkembangan AI dalam beberapa tahun terakhir berlangsung dengan sangat cepat. Jika dulu teknologi ini hanya bisa ditemukan di laboratorium atau seminar ilmiah, sekarang AI telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

"AI bukan hanya menjadi alat bantu, tapi juga mulai menjadi katalisator perubahan," jelasnya. Ia menyebutkan berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, industri kreatif, hingga keamanan siber kini telah terdampak oleh kehadiran AI. Hal ini menjadikan AI bukan lagi teknologi masa depan, tapi sudah menjadi teknologi hari ini.

Namun, perkembangan ini tidak datang tanpa tantangan. Alex menekankan pentingnya etika dalam penggunaan AI, terutama dalam menjaga privasi data dan memastikan bahwa akses terhadap teknologi ini dapat dijangkau secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat.

 

Cloud Computing sebagai Pendorong Utama Perkembangan AI

Ketika ditanya apakah ia pernah membayangkan hadirnya tools seperti ChatGPT, DeepSeek, atau Grok, Alex menjawab bahwa walaupun kemajuan AI sudah bisa diprediksi, kecepatan kemunculan berbagai tools AI generatif ini tetap mengejutkannya.

"Yang mempercepat semuanya tentu tidak lepas dari kemajuan cloud computing," kata Alex. Cloud computing memberikan akses komputasi skala besar dengan biaya terjangkau kepada banyak pihak mulai dari startup, kampus, hingga korporasi besar. Hal ini memungkinkan pengembangan dan pelatihan model AI tanpa perlu membangun infrastruktur mahal dari nol.

Dengan hadirnya API (Application Programming Interface), integrasi AI dalam aplikasi sehari-hari pun menjadi sangat mudah. Dalam pandangan Alex, cloud computing telah menjadi katalis yang membuat revolusi AI melesat jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan.

 

Rekomendasi Tools AI untuk Gen Z

Sebagai pakar yang juga aktif dalam edukasi dan pengembangan komunitas teknologi, Alex memberikan sejumlah rekomendasi alat AI yang bisa dimanfaatkan oleh generasi muda, khususnya Gen Z, untuk mengembangkan keterampilan mereka. Berikut beberapa kategori dan tool yang direkomendasikan:

  1. Menulis dan Komunikasi
    • ChatGPT: Membantu menyusun ide, membuat esai, artikel, hingga surat lamaran kerja.
    • Grammarly & Quillbot: Memperbaiki tata bahasa, menyempurnakan kalimat, dan meningkatkan kualitas tulisan bahasa Inggris.
  2. Pemrograman dan Teknologi
    • GitHub Copilot: Menjadi asisten cerdas dalam penulisan kode. Sangat berguna untuk belajar bahasa pemrograman seperti Python, JavaScript, dan C#.
    • Tool ini mempermudah pelajar atau mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas coding, debugging, hingga membuat aplikasi.
  3. Kreativitas Visual dan Desain
    • Canva AI: Fitur Magic Design-nya membantu membuat desain poster, infografis, dan presentasi secara instan.
    • Runway ML: Membantu eksplorasi dalam video editing dan pembuatan animasi berbasis AI.
    • Adobe Creative Suite: Telah banyak mengintegrasikan AI dalam fitur-fiturnya seperti penghapusan objek otomatis dan penyesuaian warna.
  4. Riset dan Pembelajaran Mandiri
    • Perplexity AI & Consensus AI: Dua tools ini sangat ideal untuk mencari dan merangkum informasi dari jurnal ilmiah, artikel akademis, serta data terpercaya lainnya.

Dengan kombinasi alat-alat tersebut, Alex percaya bahwa Gen Z memiliki peluang besar untuk menjadi generasi paling terampil secara digital sepanjang sejarah.

 

AI vs Karya Seni: Dimana Batasnya?

Fenomena yang saat ini hangat dibicarakan adalah banyaknya karya AI yang meniru gaya visual khas Studio Ghibli, salah satu studio animasi legendaris asal Jepang. Menanggapi hal ini, Alex mengungkapkan kekhawatirannya.

"AI seharusnya menjadi alat untuk memperkaya dunia seni, bukan malah merusak penghargaan terhadap karya manusia yang penuh dedikasi," tegasnya.

Ia menilai penggunaan AI untuk meniru gaya artistik tertentu, apalagi tanpa izin dari pemilik gaya asli seperti Ghibli, bisa memunculkan persoalan hak cipta dan orisinalitas karya. Kini siapa saja bisa membuat gambar ala Ghibli dalam hitungan detik, tanpa melalui proses kreatif yang panjang dan penuh pengorbanan sebagaimana dilakukan oleh animator sesungguhnya.

Alex menilai ini sebagai “pedang bermata dua”. Di satu sisi, AI membuka peluang bagi lebih banyak orang untuk berkreasi. Di sisi lain, hal ini juga bisa mengaburkan batas antara karya asli dan tiruan, yang berdampak pada etika serta bisnis kreatif.

Ia mendorong adanya regulasi yang lebih jelas mengenai penggunaan AI dalam seni dan industri kreatif. Hal ini untuk memastikan bahwa para seniman tetap terlindungi dan teknologi tidak digunakan untuk mengeksploitasi hasil kerja keras mereka.

 

Perjalanan Seorang Alex Budiyanto: Dari Komunitas Hingga Menjadi Pakar Nasional

Ketertarikan Alex terhadap dunia teknologi bermula dari rasa ingin tahu yang besar. Saat masih kuliah, ia aktif di berbagai komunitas teknologi seperti KPLI (Kelompok Pengguna Linux Indonesia), IlmuKomputer.Com, dan Microsoft User Group. Komunitas-komunitas ini menjadi "sekolah kedua" baginya untuk belajar teknologi secara praktis dan berjejaring dengan para profesional.

Karier profesionalnya dimulai di Sun Microsystems Indonesia sebagai Education & Community Manager. Di sana, ia terlibat dalam pembangunan komunitas seperti Java User Group Indonesia dan Open Solaris User Group Indonesia.

Setelah Sun Microsystems diakuisisi Oracle, Alex bergabung dengan komunitas developer Nokia sebelum akhirnya bergabung dengan Microsoft Indonesia, di mana ia lebih mendalami cloud computing—bidang yang saat itu masih tergolong baru di Indonesia.

Melihat pentingnya edukasi cloud computing, pada tahun 2012 ia membentuk komunitas Cloud Computing Indonesia yang berkembang menjadi Asosiasi Cloud Computing Indonesia pada 2017. Menyadari pentingnya keamanan dalam dunia digital, Alex mendirikan Indonesia Cyber Security Hub (cyberhub.id) pada 2021.

Melihat gelombang besar perkembangan AI yang dibangun di atas platform cloud, ia mendirikan Indonesia Artificial Intelligence Hub (aihub.id)—organisasi yang fokus pada adopsi, edukasi, dan pengembangan AI di Indonesia.

Filosofi dan Prinsip Hidup
Bagi Alex, kunci dari perjalanan kariernya sederhana:

"Tetap belajar, berani mencoba, dan selalu terbuka terhadap perubahan."

Dengan prinsip inilah ia terus berinovasi dan mendukung ekosistem teknologi di Indonesia. Alex percaya bahwa teknologi haruslah menjadi alat pemberdaya, bukan pengganti manusia. AI bisa membantu banyak hal, tetapi tetap dibutuhkan nilai-nilai manusia seperti kreativitas, etika, dan empati agar teknologi bisa digunakan untuk kebaikan bersama.

Bagi generasi muda, saran Alex untuk memanfaatkan tools AI secara cerdas adalah dorongan positif agar mereka dapat mempersiapkan diri di era digital yang kian kompetitif.

AI bukan musuh seni, tetapi harus diperlakukan sebagai alat yang bijak agar bisa benar-benar memperkaya dan bukan malah merusak esensi kreativitas manusia.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait