Lindungi dari Serangan Malware, Fortinet Manfaatkan Teknologi AI


Cyber Security

Ilustrasi Cyber Security

Perusahaan teknologi keamanan siber dunia Fortinet memanfaatkan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) untuk memberikan layanan maksimal bagi pelanggannya.

Menurut Vishak Raman, Vice President Sales Fortinet, SAARC , South East Asia_HKK & ANZ, terdapat 94 juta serangan di Indonesia pada kuartal pertama 2023 berdasarkan survey yang dilakukan Fortinet baru-baru ini.

Umumnya, di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, serangan siber yang paling sering terjadi adalah phishing dan malware.

“Kami menerbitkan laporan mengenai ancaman di setiap wilayah, seperti virus apa yang ada, penyusupannya seperti apa, dan botnet apa yang ada. Fortinet memiliki ekosistem solusi yang sangat besar, yang kami integrasikan selama bertahun-tahun. Kami menggunakan banyak AI dan memiliki sekitar 9 juta sensor yang tersebar. Selain itu juga kami memiliki 600 ribu penelitian tentang ancaman siber, yang kami ubah semuanya menjadi layanan keamanan berbasis kecerdasan buatan FortiGuard, yang mengumpulkan semua virus dan botnet ini dan mengklasifikasikan data yang dinormalisasi untuk sistem AI” tuturnya saat ditemui pada acara Fortinet Accelerate di Jakarta baru-baru ini.

Vishak mengatakan bahwa Fortinet telah menggunakan sistem AI ini selama enam tahun dan berhasil memantau lebih dari satu juta sampel malware dan lebih dari 250 juta URL per hari. 

“Kami menggunakan AI untuk memastikan pembaruan yang tepat dan informasi yang benar. Jadi membutuhkan waktu satu tahun untuk melatih algoritma," ucapnya.

Mengenai tenaga ahli di bidang ini, Vishak menegaskan bahwa tidak ada cara lain untuk mempersempit kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan ahli cyber security kecuali dengan pelatihan. 

“Di Indonesia, kami telah melatih sekitar 21.000 profesional keamanan siber secara gratis. Kita butuh melipatgandakannya tiga kali. Dan ini hanya bisa terjadi dengan memiliki kecerdasan lokal. Kita bisa saja mencari praktek terbaik atau kerangka kerja dari negara lain yang lebih matang di bidang keamanan siber, misalnya Singapura atau Australia, namun pelaksanaannya harus dilakukan secara lokal oleh orang-orang lokal di Indonesia. Pemahaman terhadap ancaman juga bersifat lokal. Maka untuk menjawab kesenjangan ini, diperlukan lebih banyak lagi pelatihan, sertifikasi dan melihat kerangka kerja negara lain dalam perspektif lokal," ujar Vishak seperti dikutip dari Info Komputer, Jumat.

Vishak mengatakan bahwa Fortinet memiliki komitmen jangka panjang untuk Indonesia. Bisnis Fortinet berkembang dengan sangat kuat, dan Indonesia merupakan salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara yang merupakan pasar besar bagi perusahaan tersebut.

“Kami adalah market leader di Indonesia dalam hal keamanan jaringan. Pertumbuhan bisnis kami mencapai dua digit, dan kami sangat berhasil di sektor telekomunikasi dan juga pemerintah. Kami memiliki kantor sendiri dengan lebih 45 orang di lapangan.”

Tantangan terbesar di Indonesia, menurutnya adalah kesadaran tentang keamanan siber. Pasar lokal berpikir bahwa jika dipasang firewall maka sudah aman.

“Kesadaran tentang pendekatan berbasis platform sangat penting. Dan juga memilih vendor yang tepat. Kami hadir di sini untuk jangka panjang, pastikan bahwa Anda memilih vendor platform dan bukan point product vendor,” sarannya.

Baru-baru ini Fortinet mengungkap temuan survei SASE Asia-Pasifik yang ditugaskan kepada IDC. Laporan ini didasarkan pada survei terbaru yang dilakukan IDC di sembilan negara Asia/Pasifik yang menjajaki perspektif para pemimpin keamanan siber tentang kerja hybrid, khususnya bagaimana hal tersebut berdampak terhadap perusahaan mereka selama setahun terakhir serta strategi mereka untuk memitigasi tantangan keamanan yang timbul dari pelaksanaan kerja hybrid.

Hasil survei antara lain menunjukkan bahwa 96% responden di Indonesia menggunakan model kerja hybrid atau jarak jauh, sementara lebih dari setengahnya (54%) memiliki sekurang-kurangnya 50% karyawan yang bekerja secara hybrid.

Seiring meningkatnya kerja hybrid, karyawan memerlukan beberapa koneksi ke sistem eksternal dan aplikasi cloud agar tetap produktif. Responden survei mengindikasikan bahwa karyawan mereka di Indonesia memerlukan hampir 30 koneksi ke aplikasi cloud pihak ketiga, dan ini memperbesar peluang terjadinya pelanggaran keamanan.


Bagikan artikel ini