RI Masuk 10 Besar Kebocoran Data, Hampir 100 Juta Akun Bocor


Ilustrasi Cyber Security 1

Ilustrasi Cyber Security

Indonesia mencatatkan namanya sebagai salah satu dari 10 besar negara dengan tingkat kebocoran data tertinggi di dunia. Data ini diungkapkan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ogi Prastomiyono, dalam acara Risk and Governance Summit 2024 yang berlangsung di Jakarta Selatan pada Selasa (26/11).

Menurut Ogi, selama empat tahun terakhir, sebanyak 94,22 juta data penduduk Indonesia telah dilaporkan bocor. "Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan kebocoran data terbesar," ungkapnya.

Kerugian Finansial dan Risiko Keamanan Siber

Kebocoran data ini tidak hanya berdampak pada privasi, tetapi juga memberikan kerugian finansial yang besar. Berdasarkan data tahun 2023, lebih dari 350 juta serangan siber terjadi, dengan total kerugian mencapai minimal 1 juta dolar AS atau sekitar Rp15,9 miliar.

"Risikonya sangat besar, dan kita belum memiliki proteksi yang memadai terhadap risiko siber ini," kata Ogi. Ia juga menyoroti bagaimana lemahnya perlindungan terhadap serangan siber dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap layanan digital.

Ogi menjelaskan bahwa digitalisasi di sektor jasa keuangan sudah menjadi sebuah keniscayaan. "Hampir semua lembaga jasa keuangan itu, kalau mau tetap bertahan dalam kompetisi, harus memiliki layanan digital," tegasnya.

Namun, kepercayaan pengguna menjadi tantangan besar. Masyarakat cenderung ragu menggunakan layanan digital dari institusi yang memiliki rekam jejak buruk dalam menangani serangan siber.

Langkah OJK dan Panduan Penggunaan AI

Dalam menghadapi situasi ini, OJK telah mengambil berbagai langkah mitigasi. Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, bersama Ketua Dewan Audit OJK, Sophia Wattimena, memaparkan sejumlah strategi dalam menangani serangan siber dan menerapkan kode etik untuk penggunaan artificial intelligence (AI).

Panduan etika penggunaan AI ini diluncurkan pada akhir 2023 melalui kolaborasi dengan empat asosiasi fintech di Indonesia, yaitu:

  • Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH),
  • Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI),
  • Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), dan
  • Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI).

"Untuk mitigasi yang sudah kita lakukan, OJK bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait. Kita bergerak dalam ekosistem yang saling terintegrasi," ujar Sophia.

Sophia juga menekankan pentingnya peraturan yang sudah diterapkan oleh OJK dalam beberapa tahun terakhir, termasuk Peraturan OJK tahun 2021 dan 2022 yang mengatur sektor perbankan dan lembaga jasa keuangan non-bank.

"Baru-baru ini, OJK juga telah mengeluarkan peraturan terkait penggunaan AI, yang mengatur bagaimana etikanya harus dibangun," tambahnya.

Tantangan Digitalisasi dan Keamanan Siber di Indonesia

Tantangan besar dalam menjaga keamanan data di Indonesia tidak lepas dari proses transformasi digital yang pesat. Di satu sisi, digitalisasi menjadi kunci untuk bersaing dalam industri jasa keuangan; di sisi lain, risiko keamanan siber terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah data yang tersimpan dan diproses secara digital.

Melihat data kebocoran yang begitu besar, Indonesia menghadapi pekerjaan rumah yang tidak sederhana. Diperlukan sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat untuk memperkuat perlindungan data dan membangun ekosistem digital yang aman serta dapat dipercaya.

Dengan langkah-langkah mitigasi dan regulasi yang terus diperbarui, OJK berharap risiko kebocoran data dan serangan siber di masa depan dapat ditekan, sehingga kepercayaan publik terhadap layanan digital dapat kembali pulih.

Bagikan artikel ini

Berlangganan

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru.

Video Terkait