Tim Peneliti FMIPA UI Ciptakan Landslide 2.0, Berbasis IoT


IOT

Ilustrasi IOT

Bencana tanah longsor di Indonesia sudah sering terjadi, bahkan menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat sebanyak 834 kasus tanah longsor yang terjadi sepanjang 2022. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan puting beliung (635 kasus), dan banjir (584 kasus).

Tentunya jumlah kasus tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya banyak kerugian, di mana sebanyak 735 warga terdampak dan 753 bangunan rusak. Melihat kondisi tersebut, tim peneliti dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia, yang terdiri atas Dr. Parluhutan Manurung (Geografi), Dr. Supriyanto (Geosains), dan Iskandar Koto, M.Sc. (Geosains) mengembangkan Landslide 2.0.

Landslide 2.0 sendiri merupakan sebuah Landslide Early Warning System (LEWS) atau sistem peringatan dini tanah longsor yang memantau tanah longsor secara online dengan mendeteksi perubahan jarak serta kemiringan di daerah rawan longsor.

Sistem peringatan dini ini memanfaatkan sensor laser distance yang dapat dioperasikan secara terus menerus dari lokasi pantau melalui transmisi data komunikasi seluler yang didukung teknologi internet of things (IoT).

Desain, komponen, serta cara kerja dari Landslide 2.0 dibuat seringkas mungkin agar dapat lebih terjangkau, mengingat bencana tanah longsor yang sering terjadi di Indonesia. Sistem peringatan dini ini pun dibuat lebih praktis agar dapat dioperasikan dengan mudah oleh masyarakat dari berbagai kalangan.

Selain itu, Landslide 2.0 juga dilengkapi dengan radio untuk dapat menjangkau daerah terpencil yang tidak memiliki akses telekomunikasi yang baik. Landslide 2.0 juga memiliki panel surya kecil berukuran 12 watt peak sebagai sumber energi ramah lingkungan. Perawatan yang baik dapat membuat alat ini bisa tetap beroperasi secara optimal hingga lima tahun ke depan.

Landslide 2.0 bekerja dengan memantau perubahan jarak atau retakan sebagai indikasi pergerakan tanah melalui sensor laser range-finder yang ditempatkan di salah satu sisi tiang pantau. Kerumitan perubahan ini kemudian perlu dikonfirmasi dengan pemantauan vertikalitas atau ketegakan tiang pantau.

Apabila sistem mendeteksi perubahan jarak yang melampaui ambang batas, sistem akan langsung mengirimkan peringatan agar masyarakat dapat segera menghindari daerah rawan longsor. Hasil dari pemantauan ini pun dikirimkan ke sistem server cloud untuk dapat ditampilkan secara daring dan real time pada website.

Parluhutan menjelaskan bahwa pemantauan bersifat lokal di berbagai lokasi rawan longsor, dan dapat diintegrasikan secara nasional sehingga pola pergerakan tanah di berbagai daerah dapat dianalisis secara komprehensif dan lengkap.

Teknologi inovasi Landslide 2.0 ini pun diharapkan dapat mendukung pengurangan risiko bencana longsor, terutama di pemukiman masyarakat dengan pendapatan rendah yang sering terancam kerugian besar akibat tanah longsor.

“Inovasi dan kemandirian teknologi Landslide 2.0 diharapkan dapat diaplikasikan di berbagai lokasi rawan longsor di seluruh Indonesia. Harga yang terjangkau memungkinkan kita untuk membantu masyarakat dan pemangku kebijakan daerah dalam membangun sistem peringatan dini secara mandiri di daerah masing-masing,” kata Parluhutan dalam keterangan resminya, melansir dari Medcom.id, Senin (16/1/2023).

Landslide 2.0 pun telah dikembangkan sejak Agustus 2020, dan terus dikembangkan serta ditingkatkan hingga saat ini. Alat ini pun telah diujicobakan selama enam bulan di daerah Bojong Koneng, Bogor, Jawa Barat. Masyarakat diharapkan dapat mengimplementasikan inovasi ini secara mandiri di daerah masing-masing.


Bagikan artikel ini