Ancaman Disinformasi di Era AI dan Rendahnya Literasi Digital


Industri Multimedia

Industri Multimedia

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, masyarakat Indonesia kini semakin terbiasa berinteraksi dengan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), khususnya dalam bentuk generatif atau yang dikenal sebagai Gen-AI. Teknologi ini memungkinkan pembuatan konten seperti teks, gambar, suara, bahkan video, hanya dengan masukan sederhana dari pengguna. Namun, kemajuan ini tidak selalu membawa manfaat, terutama jika tidak diimbangi dengan kemampuan masyarakat untuk memahami dan menyikapi AI secara kritis.

Sebuah riset terbaru dari Luminate dan Ipsos memotret fenomena yang mengkhawatirkan: meskipun penggunaan AI semakin meluas, literasi masyarakat terhadap teknologi ini masih tergolong rendah. Hasil riset ini menyuarakan kekhawatiran mendalam terhadap potensi penyebaran disinformasi yang semakin sulit dikendalikan di era digital saat ini.

 

AI dan Pengaruhnya terhadap Pandangan Politik Masyarakat

Salah satu temuan paling mencolok dalam riset ini adalah besarnya pengaruh konten buatan AI terhadap opini publik, terutama dalam konteks politik. Sebanyak 75% responden percaya bahwa konten yang dihasilkan oleh AI dapat membentuk pandangan politik masyarakat secara luas. Lebih lanjut, 72% responden menyatakan bahwa orang-orang di sekitar mereka dapat terpengaruh oleh konten semacam itu, dan 63% bahkan merasa diri mereka sendiri rentan terhadap pengaruhnya.

Namun, ada ironi menarik yang muncul: sepertiga dari responden menyatakan bahwa mereka merasa tidak akan terpengaruh oleh konten AI. Sayangnya, dari kelompok ini, sebanyak 42% mengaku tidak yakin bisa membedakan antara konten asli dan konten buatan AI. Ini menunjukkan adanya kesenjangan besar dalam literasi digital dan kemampuan berpikir kritis masyarakat terhadap informasi yang mereka konsumsi setiap hari.

Dinita Putri, praktisi tata kelola data dari Luminate, menegaskan pentingnya pemahaman yang mendalam tentang teknologi ini. “Kami melihat pola yang konsisten di berbagai negara; semakin banyak orang memahami AI, semakin besar kemungkinan mereka menyadari risikonya. Begitu pula dengan Indonesia. Jika kita ingin membangun masyarakat yang tangguh terhadap disinformasi, kita perlu berinvestasi dalam meningkatkan kesadaran komunitas, bukan hanya di kalangan digital native, tapi di seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya.

 

Indonesia: Negara Digital dengan Risiko Tinggi

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan aktivitas digital tertinggi di dunia. Penggunaan aplikasi seperti WhatsApp, Instagram, Facebook, dan TikTok menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Data survei menunjukkan bahwa lebih dari 90% responden menggunakan WhatsApp setiap hari, menunjukkan betapa luasnya penetrasi platform digital dalam kehidupan sosial masyarakat.

Namun, tingginya paparan digital ini tidak sebanding dengan tingkat pemahaman terhadap teknologi AI yang menjadi motor penggerak di balik berbagai bentuk konten digital. Terlebih lagi, mayoritas masyarakat, terutama di luar kelompok digital native, belum memiliki pemahaman yang memadai tentang bagaimana teknologi ini bekerja, serta bagaimana konten-konten yang mereka lihat bisa saja merupakan hasil manipulasi dari algoritma AI.

Hal ini menimbulkan ancaman serius, terutama menjelang momen-momen penting seperti pemilihan umum. Dengan lebih dari 204 juta pemilih, Indonesia menjadi lahan subur bagi penyebaran konten deepfake dan disinformasi politik berbasis AI yang berpotensi memanipulasi opini publik.

Dalam konteks ini, teknologi AI dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi palsu yang dikemas sangat meyakinkan, bahkan menyerupai pernyataan tokoh publik atau cuplikan peristiwa yang tidak pernah terjadi. Jika masyarakat tidak dibekali kemampuan untuk mendeteksi dan memahami rekayasa semacam ini, integritas demokrasi bisa terancam.

 

Literasi Digital dan AI: Solusi untuk Masa Depan Demokrasi

Untuk menjawab tantangan ini, literasi digital—khususnya literasi AI—menjadi kebutuhan mendesak. Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap cara kerja AI, manfaatnya, sekaligus risikonya, harus menjadi agenda prioritas dalam pembangunan digital Indonesia.

ICT Watch, sebuah organisasi yang fokus pada hak digital, telah mengambil langkah strategis dengan meluncurkan Kerangka Kerja Literasi AI Indonesia. Inisiatif ini menekankan pentingnya pendekatan yang inklusif dan berbasis hak asasi manusia dalam menyusun strategi peningkatan literasi AI.
Kerangka kerja ini memiliki tiga dimensi utama:

  • Kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI)
  • Kondisi sosial ekonomi masyarakat
  • Aspek kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh

Prasasti Dewi, Direktur Program ICT Watch, menjelaskan bahwa literasi AI tidak hanya soal mengenali teknologi, tetapi juga bagaimana teknologi itu memengaruhi cara berpikir, mengambil keputusan, dan berinteraksi dengan lingkungan sosial. “Literasi AI adalah fondasi penting untuk memastikan masyarakat dapat berinteraksi dengan teknologi secara etis, inklusif, dan bertanggung jawab,” tegasnya.

Di tengah derasnya arus digitalisasi, masyarakat yang cakap dalam literasi AI akan memiliki kemampuan untuk menyaring informasi, membedakan fakta dan fiksi, serta memahami bagaimana konten yang mereka lihat bisa dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu.

 

Literasi AI sebagai Investasi Sosial

Peningkatan literasi AI bukan sekadar tugas individu atau komunitas, tetapi merupakan investasi sosial yang harus didukung oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta, hingga media. Pemerintah perlu mendorong kebijakan yang mendukung edukasi literasi digital sejak usia dini, bahkan di luar kurikulum formal.

Sekolah dan institusi pendidikan juga harus mulai memasukkan pemahaman dasar mengenai AI ke dalam pelajaran teknologi atau kewarganegaraan digital. Sementara itu, media massa memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi seputar AI secara mudah dimengerti dan tidak menyesatkan.
Selain itu, perusahaan teknologi dan platform media sosial harus lebih bertanggung jawab dalam mencegah penyebaran konten palsu yang dipicu oleh AI. Transparansi algoritma, verifikasi konten, dan edukasi pengguna menjadi kunci untuk menciptakan ruang digital yang sehat dan aman.

 

Membangun Ketahanan Masyarakat terhadap Disinformasi

Penting untuk diingat bahwa teknologi, termasuk AI, bersifat netral. Ia bisa membawa manfaat besar seperti efisiensi kerja, kemajuan ilmu pengetahuan, hingga peningkatan kualitas layanan publik. Namun, di tangan yang salah, AI bisa menjadi alat untuk menciptakan kekacauan informasi yang dapat merusak tatanan sosial dan politik.

Maka dari itu, membangun ketahanan masyarakat terhadap disinformasi tidak hanya membutuhkan regulasi yang kuat, tetapi juga budaya berpikir kritis, sikap skeptis yang sehat, dan kemampuan untuk memverifikasi informasi secara mandiri. Dalam hal ini, literasi AI menjadi salah satu fondasi paling penting.
Investasi dalam literasi AI adalah investasi untuk masa depan demokrasi, keamanan informasi, dan keadilan sosial. Di masa depan, masyarakat yang cakap dalam literasi AI akan lebih mampu mempertahankan hak-hak digital mereka dan tidak mudah terjebak dalam manipulasi teknologi.

 

Mengubah Ancaman Menjadi Kesempatan

Tingginya paparan digital tidak selamanya menjadi ancaman, jika diimbangi dengan literasi yang memadai. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi bangsa yang cerdas digital dan mampu memanfaatkan teknologi secara bijak. Namun, untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan kolaborasi semua pihak.

Kesadaran masyarakat tentang AI harus terus ditingkatkan, tidak hanya melalui kampanye sesaat, tetapi dengan program edukasi yang berkelanjutan. Dengan demikian, kita bisa mengubah tantangan menjadi peluang, dan menjadikan AI sebagai alat untuk memperkuat, bukan melemahkan, demokrasi dan kehidupan sosial kita.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait