Ahli Menilai Tes COVID-19 Berbasis AI Masih Diragukan


Artificial Intelligence

Ilustrasi Artificial Intelligence

Pandemi COVID-19 saat ini mendominasi dunia. Langkah antisipatif penularan virus pun dilakukan dengan memperbanyak tes COVID-19. Terobosan dan ide-ide tercipta dari langkah antisipatif ini, salah satunya yaitu terobosan uji infeksi virus corona menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI).

Teknologi tes COVID-19 berbasis AI ini dikembangkan di Inggris oleh sebuah konsorsium yang dipimpin perusahaan dari negara tersebut yang khusus mengembangkan AI. Teknologi tersebut kini sudah diujicobakan di bandara Heathrow, dan perusahaan asal Australia, KeyOptions memiliki hak untuk menguji teknologi AI ini di negaranya.

Tes COVID-19 menggunakan AI ini hanya dilakukan selama 20 detik dengan menggunakan kamera dan mikroskop untuk menentukan apakah seseorang memiliki virus atau tidak. Tes COVID-19 tersebut dilakukan dengan mengambil sampel air liur dan memprosesnya melalui mesin yang didukung oleh perangkat lunak AI guna melihat adanya virus corona atau tidak. Alat ini juga dapat melihat seperti apa sel dari virus penyebab COVID-19 dan dapat menentukan apakah sampel orang tersebut terinfeksi atau tidak.

"Dengan menggunakan mikroskop holografik, alat ini mampu melihat secara fisik struktur sel sampel," ungkap Gavin Milton-White, perwakilan dari KeyOptions.

"Serangkaian kamera dan mikroskop mampu melakukan analisis struktur sel berukuran nano. Sel COVID-19 memiliki tanda yang spesifik dan dapat diidentifikasi," tambahnya.

Kendati demikian, para ahli mengatakan tes tersebut bukan berarti dapat menggantikan metode tes virus corona yang digunakan saat ini.

Direktur penyakit menular di Mater Hospital, Profesor Paul Griffin tidak menyangkal jika teknologi AI yang disematkan pada perangkat tes COVID-19 ini adalah suatu terobosan yang baik. Namun, Dr Griffin memiliki beberapa kekhawatiran terhadap perangkat tes tersebut.

"Rapid test pastinya akan membuat perbedaan besar pada kemampuan kita pada keterbatasan. Tapi sayangnya ketika kami mencari tes yang minim invasif dan lebih cepat, seringkali mengorbankan kualitas dan akurasi," ungkap Dr Griffin.

Menurutnya, tes COVID-19 berbasis artificial intelligence ini memiliki fitur yang baik, laporan spesifisitas dan sensitivitas juga cukup baik. Namun, Dr Griffin tetap ingin melihat lebih banyak data validasi lokal, dibandingkan "standar emas" yang disampaikan saat ini.

"Saya pikir tes (cepat) ini akan tetap berguna, tapi kita perlu menafsirkannya dalam konteks, mungkin menganggapnya lebih berguna sebagai tambahan pengujian konvensional, bukan sebagai pengganti," jelas Dr Griffin.

Saat ini, menurut Milton-White teknologi tes COVID-19 berbasis AI tersebut sedang diuji di sejumlah institusi medis di Inggris, dan Australia akan memiliki perangkat tes Covid-19 berbasis AI itu dalam beberapa hari ke depan.


Bagikan artikel ini