BSSN: Jumlah Pengguna IoT Lebih Banyak Dibandingkan Smartphone


IOT

Ilustrasi IOT

Pada tahun 2015 lalu, tepatnya di halaman 62-122, terbit sebuah paper ilmiah berkualitas berjudul The internet of things: An overview. Penulisnya tiga ilmuwan ternama dari The Internet Society, yakni Karen Rose, Scott Eldridge, dan Lyman Chapin.

Mereka waktu itu membuat sebuah premis yang semula dianggap tak mungkin, tetapi kini kian meluas: Internet of Things (IoT) adalah, "Teknologi yang memungkinkan konektivitas jaringan dan kemampuan komputasi meluas ke objek, sensor, dan barang sehari-hari. Konektivitas ini memungkinkan perangkat menghasilkan, bertukar, dan mengonsumsi data."

Tidak sampai 10 tahun, koneksi yang mereka sebut sebagai smart objects ini sudah dan sedang makin memasyarakat secara global. Tak ketinggalan, masyarakat Indonesia pun masuk dalam tren tersebut. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pernah menyatakan, sepanjang tahun 2021, jumlah pengguna IoT di Tanah Air lebih banyak dibandingkan pengguna smartphone yang terkoneksi.

Hal ini logis terjadi karena koneksi IoT secara teori dan praktik tak harus selalu dioperasikan manusia seperti ponsel cerdas. Simak saja bagaimana perangkat-perangkat di pabrik, yang tanpa dioperasikan manusia, alat komputasi tersebut sudah saling "mengobrol" mencetak berbagai produktivitas.

Sementara itu, laporan World Economic Forum bertajuk "The Future of Jobs Report 2020" menyebutkan, sebanyak 9% perusahaan di seluruh dunia pada 2025 sudah pasti memanfaatkan teknologi IoT.

Bahkan, Kemenkominfo tahun lalu menyatakan, jumlah perangkat IoT pada tahun 2022 diperkirakan 400 juta serta akan meningkat ke 678 juta perangkat pada 2025 nanti pascahadirnya layanan 5G.

Selain itu, nilai pangsa pasar perangkat IoT di Indonesia juga diprediksi meningkat hingga Rp355 triliun pada 2022 lalu serta akan naik pangsanya mencapai Rp557 triliun pada 2025 nanti. Angka ini sejalan dengan penetrasi internet yang terus meningkat di Indonesia, dengan angka terbaru Januari 2023 sudah mendekati 80% dari total populasi Tanah Air.

Vice President Startup Bandung, Nur Islami Javad, mengatakan, layanan berbasis IoT adalah layanan relatif teknologi baru yang saat ini masih didominasi segmen pasar B2B (business to business) dibandingkan B2C (business to consumer).

"Adopsi yang tinggi pada IoT itu masih di segmen B2B, belum meluas ke masyarakat umum. Sepengamatan saya dalam industri startup, yang bisnisnya berkelanjutan memang di B2B IoT karena tidak terjabak dalam perang bakar-bakar duit," katanya dalam keterangan resminya di Bandung, Selasa (11/4/2023).

Menurutnya, target pasar korporat menciptakan banyak keseimbangan bagi pelaku startup. Sebab, yang disasar tak sebanyak pasar ritel, tetapi punya kemampuan daya beli jauh lebih besar sehingga sangat realistis untuk sebuah bisnis riil.

"Era bisnis valuasi sudah lewat, sekarang harus logis dan bisa bertahan lama. Rasionalitas bisnis menjadi nomor satu. Jadi, harus kuat sisi bisnis secara umum, tetapi di-enhance dengan berbagai mindset dunia startup, atau dalam bahasa lain bisnis regular, tapi mengadaptasi cara-cara berpikir dan operasi ala startup," jelasnya.

Jeff sapaannya, mencontohkan, layanan Antares sebagai layanan IoT dari PT Telkom yang sudah baik dari sisi teknis. Dan hal ini, akan tambah baik bahkan mantap kalau disertai dengan arahan laju usaha (advisory) yang disertai ekosistem yang besar.

Melansir dari Wartaekonomi.co.id, untuk melesat naik kelasnya tetap butuh wahana seperti Telkom Dilo, Indigo, atau bahkan Telkom Grup itu sendiri guna menciptakan interaksi dalam ranah pasar B2B tadi. Cara ini pun harus dilakukan secara konsisten walaupun tidak ngebut agar ekspektasi pasar bisa ditemukan akurat.


Bagikan artikel ini