NCSI : Keamanan Siber Indonesia Peringkat 83 dari 160 Negara


Ilustrasi Cyber Security

Ilustrasi Cyber Security

Indonesia dengan 202 juta pengguna internet saat ini telah menjadi salah satu penggerak ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Pada tahun 2021 saja, ekonomi digital nasional telah memberikan kontribusi sebesar USD 70 miliar, dan diproyeksikan akan menembus USD 146 miliar pada 2025 mendatang.

Namun demikian, pertumbuhan digital yang cepat ini juga diikuti dengan ancaman keamanan siber atau cyber security yang juga meningkat secara signifikan. Laporan terbaru dari National Cyber Security Index (NCSI) menunjukkan bahwa cyber security Indonesia berada di peringkat 6 di antara 10 negara di ASEAN, dan peringkat ke-83 dari 160 negara secara global.

Indonesia yang memiliki penduduk masif dan potensi ekonomi digital besar, kemudian membuat peringkat rendah mengenai keamanan siber ini sebagai pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah.

Bahkan laporan terbaru Interpol menyebutkan, ada sekitar 2,7 juta ransomware yang terdeteksi di negara-negara ASEAN sepanjang tahun 2021. Lebih miris lagi, Indonesia memimpin dengan jumlah terbesar, sebanyak 1,3 juta kasus.

“Ancaman-ancaman siber pada umumnya menyasar perusahaan besar dan institusi pemerintahan, terutama tiga tahun terakhir,” ungkap Regional Director Asia Tenggara Menlo Security, CK Mah dalam keterangan resminya, melansir dari Sindonews.com, Rabu (15/6/2022).

Menurut CK Mah, salah satu alasan utama dari maraknya ancaman serangan siber ini adalah jaringan lama atau legacy network dan infrastruktur keamanan jaringan yang tidak lagi mampu untuk mengakomodasi cara bekerja seseorang pada lanskap modern saat ini. Hal ini termasuk dalam mencegah Highly Evasive Adaptive Threats (HEAT) yang dapat mengakibatkan ransomware.

Oleh karena itu, menurut CK Mah saat ini korporasi membutuhkan pendekatan yang tidak rumit dan berbiaya terjangkau. Hal ini untuk memudahkan pengoperasian sistem keamanan sehingga perlindungan bisa dilakukan secara lebih maksimal.

“Tim keamanan perusahaan tidak perlu khawatir lagi tentang sistem yang berbelit, penuh tambah sulam, dan peringatan-peringatan yang mendadak. Sebaliknya, mereka bisa terus bergerak cepat dan fokus pada bisnis,” jelas CK Mah.


Bagikan artikel ini