Victoria’s Secret Diretas, Dunia Fesyen Kembali Terguncang
- Rita Puspita Sari
- •
- 11 Jun 2025 19.42 WIB

Ilustrasi Victoria Secret's
Dunia fesyen kembali diguncang oleh insiden siber besar. Kali ini, giliran Victoria’s Secret, merek pakaian dalam ternama asal Amerika Serikat, yang menjadi korban. Perusahaan mengonfirmasi bahwa situs resminya mengalami serangan siber pada 26 Mei 2025, menyebabkan gangguan layanan dan penutupan sementara seluruh sistem digital perusahaan, termasuk platform e-commerce mereka.
Dalam pernyataan resminya, pihak Victoria’s Secret menyampaikan bahwa gangguan ini terjadi akibat adanya akses tidak sah ke jaringan internal perusahaan. Sebagai langkah respons awal, situs web perusahaan ditutup total guna mencegah meluasnya dampak peretasan. Selama tiga hari, dari 26 hingga 29 Mei 2025, perusahaan berfokus pada pemulihan sistem dan memastikan tidak ada celah keamanan tersisa sebelum situs kembali diaktifkan.
“Langkah-langkah keamanan siber segera diterapkan, termasuk penutupan sistem dan investigasi intensif,” ujar juru bicara Victoria’s Secret dalam keterangan tertulis.
Layanan Kembali Normal, Tapi Ada Dampak Keuangan
Meskipun serangan siber tersebut sempat menyebabkan gangguan terhadap beberapa fungsi internal dan operasional toko fisik Victoria’s Secret maupun lini produk PINK, perusahaan memastikan bahwa seluruh layanan telah kembali normal. Operasional gerai di berbagai wilayah juga tidak mengalami hambatan besar dan tetap melayani pelanggan seperti biasa.
Namun, insiden ini tak sepenuhnya tanpa konsekuensi. Victoria’s Secret mengumumkan bahwa proses penyusunan laporan keuangan kuartal pertama terganggu akibat keterbatasan akses ke sistem dan data internal. Laporan yang seharusnya dirilis pada 5 Juni 2025, kini ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.
Perusahaan menyatakan bahwa meskipun insiden ini tidak berdampak langsung terhadap performa keuangan pada kuartal pertama, biaya tambahan yang dikeluarkan untuk pemulihan sistem dan penguatan infrastruktur keamanan kemungkinan akan memengaruhi hasil keuangan kuartal kedua.
“Kami memperkirakan penjualan kuartal pertama dan laba per saham dilusian yang disesuaikan tetap berada dalam atau melampaui batas atas dari panduan yang telah kami tetapkan sebelumnya,” demikian bunyi pernyataan resmi yang dirilis Victoria’s Secret.
Pasar Merespons Positif, Saham Menguat
Menariknya, meskipun diterpa kabar kurang menyenangkan ini, kepercayaan investor terhadap Victoria’s Secret ternyata tetap kuat. Saham perusahaan justru mengalami kenaikan sekitar 2% dalam sesi perdagangan awal hari Selasa, menandakan bahwa pasar percaya pada kemampuan manajemen dalam menangani krisis dan memulihkan operasional secara cepat.
Kenaikan saham ini menunjukkan bahwa pasar tidak melihat insiden ini sebagai gangguan jangka panjang terhadap fundamental bisnis Victoria’s Secret, melainkan sebagai tantangan temporer yang sudah diantisipasi.
Gelombang Serangan Siber Menyerang Industri Ritel
Insiden yang menimpa Victoria’s Secret bukanlah kasus tunggal. Dalam beberapa bulan terakhir, dunia ritel global memang tengah dilanda gelombang serangan siber yang menyasar perusahaan-perusahaan besar. Cartier, rumah mode mewah yang dimiliki oleh Richemont, juga melaporkan bahwa situs mereka diretas dan data pelanggan berhasil dicuri.
Tidak hanya itu, raksasa ritel asal Inggris, Marks & Spencer, juga disebut-sebut mengalami percobaan pembobolan sistem, meskipun dampaknya belum diungkap secara resmi, menurut laporan email yang dikutip dari Reuters.
Gelombang serangan ini semakin menunjukkan bahwa industri fesyen dan ritel, yang kini bergantung pada infrastruktur digital untuk menjalankan bisnisnya, berada dalam risiko tinggi. Situs e-commerce, sistem inventaris online, hingga database pelanggan menjadi target empuk para pelaku kejahatan siber yang mengincar informasi sensitif dan potensi keuntungan finansial.
Pentingnya Penguatan Sistem Keamanan Digital
Serangan terhadap Victoria’s Secret memberikan pelajaran penting bagi pelaku industri ritel global. Ketergantungan pada teknologi digital, meskipun memberikan banyak efisiensi, juga menuntut sistem keamanan siber yang jauh lebih tangguh.
Perusahaan yang mengelola transaksi daring berskala besar wajib memperkuat perlindungan data pelanggan, melakukan audit keamanan secara berkala, dan menerapkan sistem pemantauan real-time untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan sejak dini.
Para analis keamanan digital menyarankan agar perusahaan tidak hanya berfokus pada solusi pasca-insiden, tetapi juga mengadopsi pendekatan zero-trust dan sistem otentikasi berlapis untuk meminimalkan risiko kebocoran data.
Dengan semakin banyaknya perusahaan ritel dan fesyen yang mengadopsi digitalisasi, sudah saatnya industri ini memprioritaskan investasi dalam keamanan siber sebagai bagian dari strategi bisnis utama. Hanya dengan begitu, mereka bisa bertahan dan berkembang di tengah era yang semakin rentan terhadap serangan digital.