Polri Luncurkan Robot Polisi Canggih, Ini Fungsi dan Risikonya


Ilustrasi Robot Anjing Pintar

Ilustrasi Robot Anjing Pintar

Dalam peringatan HUT Bhayangkara ke-79, Polri memperkenalkan lebih dari 20 robot canggih, mulai dari humanoid, anjing robotik, hingga drone. Langkah ini menuai perhatian luas, tidak hanya karena teknologinya yang futuristik, tetapi juga karena kontroversi di balik anggaran dan urgensinya. Apakah inovasi ini sejalan dengan kebutuhan nyata masyarakat?

 
Transformasi Digital Polri: Lebih dari Sekadar Seremoni

Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara ke-79 menjadi panggung debut bagi lebih dari 20 robot hasil pengembangan Polri bersama sejumlah mitra teknologi. Robot-robot tersebut tampil dalam berbagai bentuk dan fungsi—ada yang menyerupai manusia (humanoid), anjing (robot dog), tank kecil, drone terbang, hingga robot interaktif bernama Ropi, singkatan dari Robot Pintar Indonesia.

Langkah futuristik ini diklaim sebagai bagian dari rencana strategis jangka panjang Polri 2025–2045. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, menyatakan bahwa penggunaan robot untuk mendukung kinerja aparat sudah menjadi hal yang lazim di banyak negara, seperti Thailand, China, Dubai, dan Singapura. Ia bahkan menyebut bahwa Singapura sudah menggunakan cyborg berbentuk kecoak dalam misi SAR (search and rescue).

Namun, meski Indonesia disebut masih “awam” dengan robot keamanan, Polri menyebut respons masyarakat atas peluncuran ini sangat positif dan di luar ekspektasi mereka.

 
Siapa di Balik Robot-robot Ini?

Untuk mewujudkan ambisi robotik tersebut, Polri tidak bekerja sendirian. Mereka menggandeng dua perusahaan teknologi dalam negeri: PT Sari Teknologi dan Ezra Robotics.

PT Sari Teknologi dipimpin oleh Yohanes Kurnia, sosok yang dijuluki "Tony Stark dari Cengkareng" oleh media nasional. Perusahaan ini fokus pada pengembangan robot dan kecerdasan buatan (AI), dengan visi besar agar Indonesia tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga produsen teknologi robotika.

Beberapa proyek PT Sari sebelumnya meliputi sistem parkir otomatis, robot pembersih, hingga alat bantu pernapasan selama pandemi Covid-19. Salah satu produk unggulan mereka adalah Ropi, robot humanoid interaktif yang didesain untuk memberikan layanan pelanggan melalui teknologi face recognition dan koneksi AI.

Sementara itu, Ezra Robotics fokus pada robot berkaki empat (quadruped) seperti anjing robotik. Mereka berkolaborasi dengan pabrikan robot asal China, Deep Robotics, dan juga Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) untuk pengembangan lokal. Produk andalan mereka, I-K9, mampu bertahan hingga empat jam dan dilengkapi dengan sistem navigasi, sensor, serta AI untuk mendeteksi bahan berbahaya, membantu misi SAR, hingga membubarkan kerumunan menggunakan suara ultrasonik.

 
Apa Saja Fungsi Robot-Robot Ini?

Polri menargetkan bahwa robot-robot ini bukan hanya “pajangan” teknologi, melainkan akan menjadi mitra aktif aparat di lapangan. Beberapa fungsi yang dijelaskan antara lain:

Robot Humanoid:

  • Pemindaian wajah di tempat umum.
  • Pemantauan pelanggaran lalu lintas secara elektronik.
  • Memberikan layanan interaktif kepada masyarakat.
  • Memiliki pandangan 360 derajat dan bisa bergerak dinamis di ruang publik.

Robot Anjing (I-K9):

  • Deteksi bahan dan benda berbahaya.
  • Operasi penyelamatan di bencana alam.
  • Pembubaran massa lewat suara ultrasonik.
  • Tahan cuaca ekstrem, tidak butuh makan atau pelatihan seperti anjing konvensional.

Dalam visi Polri, robot-robot ini akan ditempatkan pada situasi berisiko tinggi agar bisa menggantikan peran manusia untuk mengurangi potensi cedera atau kehilangan nyawa. Dengan demikian, kehadiran robot bukanlah untuk menggantikan polisi, tetapi sebagai mitra strategis dalam tugas berat.

 
Tantangan dan Sorotan Kritis

Walau tampak menjanjikan, peluncuran robot-robot ini tidak lepas dari kritik dan pertanyaan serius dari masyarakat sipil, akademisi, dan pegiat hukum.

  1. Akuntabilitas dan Transparansi Anggaran
    Salah satu sorotan utama adalah tidak ditemukannya dokumen pengadaan resmi dalam situs LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) Polri. Bahkan pencarian dengan kata kunci seperti "robot", "humanoid", dan "PT Sari Teknologi" tidak membuahkan hasil.

    Sebagai perbandingan, harga satu robot humanoid buatan luar negeri, seperti Unitree, berkisar antara US$16.000 hingga US$90.000 atau sekitar Rp250 juta hingga lebih dari Rp1,4 miliar. Sementara itu, anggaran untuk perawatan seluruh gedung Rumah Sakit Bhayangkara di Blora hanya Rp89 juta, dan reparasi mobil Brimob di Polda Bengkulu sekitar Rp200 juta.

  2. Skala Prioritas yang Dipertanyakan
    Para peneliti antikorupsi menyebut bahwa masalah utama kepolisian di Indonesia bukanlah keterbatasan teknologi, melainkan soal akuntabilitas, kekerasan aparat, dan integritas penegakan hukum. Dengan begitu, pengadaan robot canggih dinilai belum menjadi kebutuhan mendesak.

  3. Risiko Pengawasan Berlebihan (Over-Surveillance)
    Dalam riset internasional berjudul Regulating Police Robots (2025), robot yang digunakan dalam sektor keamanan disebut punya potensi memperluas pengawasan terhadap warga sipil. Dengan kecanggihan seperti kamera 360°, GPS, pengenalan wajah, dan akses ke rekaman CCTV, ada risiko serius terhadap privasi masyarakat.

    Riset tersebut menekankan bahwa:

    “Kemunculan robot dengan kekuatan analitik tinggi menimbulkan pertanyaan etis mendalam soal bagaimana robot diberi wewenang bertindak.”

  4. Risiko Malfungsi dan Ketergantungan Teknologi
    Robot tetaplah mesin. Mereka bisa rusak, jatuh, error, bahkan menimbulkan bahaya jika tidak dirancang dan diuji secara ketat. Seperti yang diakui Yohanes Kurnia, pengembangan robot Polri masih sangat awal dan butuh “ribuan jam uji coba” sebelum bisa beroperasi penuh.


Perlu Aturan Khusus Soal Pemanfaatan Robot Keamanan

Hingga saat ini, belum ada regulasi atau kerangka hukum khusus di Indonesia yang mengatur pemanfaatan robot untuk kepentingan keamanan atau penegakan hukum. Hal ini bisa menimbulkan kekosongan hukum saat terjadi pelanggaran prosedur, kerusakan akibat robot, atau penyalahgunaan data pribadi.

Pegiat hukum menekankan bahwa sebelum bicara soal teknologi canggih, yang lebih penting adalah landasan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Teknologi secanggih apapun, jika tidak dibarengi dengan etika dan aturan, justru bisa membahayakan warga.

 
Masa Depan Robot Polisi: Solusi atau Simbol?

Polri menegaskan bahwa proyek robot ini akan terus dikembangkan sesuai dengan praktik terbaik dari negara-negara maju. Namun, publik menantikan kejelasan: apakah ini benar-benar solusi atas masalah penegakan hukum yang selama ini dikeluhkan masyarakat, atau hanya simbol modernisasi tanpa substansi?

Inspektur Pengawasan Umum Polri, Komjen Dedi Prasetyo, mengakui bahwa teknologi ini masih dalam fase permulaan. Namun ia optimistis bahwa di masa depan, robot-robot ini bisa membantu menciptakan sistem hukum yang akuntabel dan humanis.

“Robot-robot ini akan menjadi mitra strategis Polri, mengurangi risiko pada personel, dan meningkatkan akurasi dalam operasi,” ujar Dedi dikutip dari bbc.com, Jum'at (27/06/2025).
 

Mewaspadai Euforia, Mengedepankan Etika

Inovasi memang penting, dan Polri patut diapresiasi atas langkah progresif dalam menyambut masa depan berbasis teknologi. Namun, euforia teknologi harus tetap dikendalikan oleh prinsip transparansi, urgensi, dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.

Masyarakat menantikan kebijakan yang bukan hanya "canggih secara teknologi", tetapi juga kuat secara etika dan hukum.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait