Tren Terbaru : Bangkitkan 'Manusia Digital' dengan AI


Ilustrasi Robot Humanoid

Ilustrasi Robot Humanoid

Seorang ayah asal China, Wu, memilih untuk "membangkitkan kembali" anaknya yang sudah meninggal menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI). Bersama istrinya, mereka bergabung dengan banyak orang Tiongkok yang memanfaatkan AI untuk menciptakan avatar mendiang yang realistis. Wu bercita-cita membangun replika yang benar-benar mirip anaknya, Xuanmo, dengan harapan avatar tersebut dapat berperilaku seperti Xuanmo dalam realitas virtual.

Pilihan ini, sebagaimana dilansir dari France24 pada 15 Desember 2023, merupakan bagian dari tren yang semakin meluas di China. Beberapa perusahaan di sana mengklaim mampu menciptakan ribuan "manusia digital" hanya dari materi audio visual mendiang berdurasi 30 detik. Meskipun memberikan kenyamanan bagi yang berduka, tren ini juga memunculkan kekhawatiran, mirip dengan tema yang diangkat dalam serial Black Mirror.

Xuanmo, seorang mahasiswa akuntansi dan keuangan di Universitas Exeter, meninggal karena stroke mendadak pada usia 22 tahun. Wu, terinspirasi oleh perkembangan teknologi pembelajaran mendalam seperti ChatGPT di China, mengumpulkan foto, video, dan rekaman audio Xuanmo, lalu Wu menghabiskan ribuan dolar untuk menyewa perusahaan AI yang mengkloning wajah dan suara Xuanmo untuk menciptakan avatar yang mampu meniru pola pikir dan ucapan anaknya.

Meski hasilnya belum sempurna, Wu telah membentuk tim kerja untuk mengumpulkan data lebih lanjut agar dapat menciptakan avatar yang semakin presisi. Beberapa perusahaan, termasuk Super Brain, mengenakan biaya antara 10 ribu sampai 20 ribu yuan untuk membuat avatar dasar dalam waktu sekitar 20 hari.

Klien bahkan dapat melakukan panggilan video dengan anggota staf yang wajah dan suaranya secara digital dilapis dengan orang yang telah hilang. "Pentingnya bagi... seluruh dunia sangatlah besar," kata  Zhang Zewei, pendiri perusahaan AI Super Brain dan mantan kolaborator Wu. "Versi digital seseorang (bisa) ada selamanya, bahkan setelah tubuhnya hilang," lanjutnya.

Pendiri Silicon Intelligence yang berbasis di Nanjing, Sima Huapeng, mengatakan teknologi ini akan "menghadirkan humanisme jenis baru." Ia menyamakannya dengan fotografi, yang membantu orang mengenang orang yang sudah meninggal dunia dengan cara yang revolusioner.

Namun, sementara teknologi ini dianggap sebagai cara untuk "membangkitkan kembali" orang yang sudah meninggal, muncul pertanyaan etis dan psikologis. Tal Morse, seorang peneliti tamu di Centre for Death and Society di Universitas Bath, Inggris, mengatakan bot hantu mungkin menawarkan kenyamanan. Namun, ia memperingatkan bahwa diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami implikasi psikologis dan etika dari hal ini.

Keberhasilan bot hantu juga membawa dilema terkait kesetiaan avatar terhadap kepribadian yang harus mereka tiru. Morse mengatakan pada AFP, "Pertanyaan kuncinya di sini adalah seberapa 'setia' bot hantu terhadap kepribadian yang dirancang untuk mereka tiru. Apa yang terjadi jika mereka melakukan hal-hal yang akan 'mencemari' ingatan orang yang seharusnya mereka wakili?"

Kebingungan lain muncul dari ketidakmampuan orang yang sudah meninggal untuk memberi persetujuannya, kata para ahli. Meski izin mungkin tidak diperlukan untuk meniru ucapan atau perilaku, izin mungkin diperlukan dalam "melakukan hal-hal tertentu dengan simulacrum tersebut," kata Nate Sharadin, seorang filsuf di Universitas Hong Kong yang berspesialisasi dalam AI dan dampak sosialnya.

Sebagai industri ini terus berkembang, perdebatan tentang etika dan dampak psikologisnya akan menjadi semakin penting. Walaupun ada kekhawatiran, pendukung teknologi ini, seperti Zhang dari Super Brain, percaya bahwa selama membantu mereka yang membutuhkan, teknologi ini adalah "pedang bermata dua" yang dapat membawa manfaat. Tetapi, pertanyaan tentang izin dan batasan etika tetap menjadi tantangan yang perlu diatasi seiring dengan evolusi tren ini.


Bagikan artikel ini